Rabu, 28 November 2012

PEMIKIRAN THEOLOGI / ILMU KALAM SYI’AH


I. PENDAHULUAN
Sejak kelahirannya, Islam tampil dalam sejarah sebagai disiplin agama sekaligus gerakan sosio-politik. Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, beliau meninggalkan warisan agama dan juga politik. Bagi sebagian umat ketika itu, suksesi Nabi SAW mengandung pengertian keagamaan dan spiritual yang sangat penting.
Selanjutnya Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, tercatat munculnya beberapa golongan yang bercorak rasional, yakni memberi peran besar dan keistimewaan bagi akal. Khsususnya tentang kemunculan aliran salahsatunya Syi’ah.Golongan ini dipercaya menjadi salah satu pemicu kemajuan peradaban ummat Islam hingga mencapai puncak kejayaannya.
  

II. PEMBAHASAN
Syiah berasal dari kata Arab Syi’ah yang secara etimologis berarti pengikut, kelompok, golongan dan pendukung. Sedangkan secara terminologis, Syiah berarti orang atau kelompok yang mengangkat kepemimpinan Ali dan Keluarganya. Mereka itu antara lain adalah : Jabir ibnu Abdillah, Huzaifah ibnul Yaman, Abu Dzar al Ghiffari dan lainnya.
Dukungan kepada Ali yang berlebihan untuk menjadi khalifah tidak hanya terjadi saat setelah meninggalnya Nabi Muhammad yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah dimana suara Bani Hasyim dan sekelompok kecil Muhajirin menuntut kekhalifahan bagi Ali, tetapi lebih memuncak pada saat kepemimpinan Utsman yang tidak adil dan hanya mementingkan kaum Umayyah sehingga mengakibatkan terbunuhnya Ustman bin Affan dan pengangkatan Ali sebagai khalifah ke empat.
 Saat setelah pengangkatan sebagai khalifah, Ali mendapat tantangan dari pemuka-pemuka masyarakat yang ingin menjadi khalifah,terutama adalah Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat dukungan dari isteri Nabi Muhammad yaitu Aisyah. Dalam peperangan yang dikenal dengan nama Harbul Jamal, Thalhah dan Zubair terbunuh sedangkan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Damaskus sekaligus anggota terdekat dari Utsman bin Affan. Kontraversi ini mengharuskan perang dengan Muawiyyah tak terhindarkan, Ali hampir menang secara militer, namun dengan cepat Muawiyyah mohon penyelesaian secara diplomatik dan akhirnya mereka memenangkan diplomasi.
Setelah kekalahan diplomatik dengan Muawiyyah, soliditas kubu Ali terpecah menjadi dua yaitu golongan yang tetap setia kepada Ali dan golongan pemberontak yang kelak lebih dikenal dengan golongan Khawarij.Golongan yang kedua ini ingin mengembalikan masalah kekhaifahan kepada rakyat banyak melalui pemilihan, tapi terhalang oleh Ali dan Muawiyyah, sehingga ia merencanakan untuk membunuh keduanya namun hanya Ali yang terbunuh sedangkan Muawiyyah malah berhasil mengkonsolidasikan diri dengan ummat Islam, hal ini berkat kecakapan politik dan ketegaran kepemimpinannya.
Karena trauma dengan pertumpahan darah, kaum Muslimin secara pragmatis mendukung kekuasaan Muawiyyah sehingga saat itu yaitu tahun ke 4 hijriah secara khusus disebut tahun persatuan. Dalam bidang keagamaan, sikap traumatis menimbulkan netralitas warga Madinah yang dipelopori Abdullah bin Umar dalam mendalami agama berdasarkan Al Qur’an dengan memperhatikan serta mempertahankan tradisi warga Madinah, yang dipandang sebagai kelanjutan tradisi yang tumbuh pada zaman Nabi dan merupakan cerminan Sunnah Nabi itu sendiri.
 Kaum netralis ini selalu dipercaya oleh penguasa umayyah, meski sering melakukan oposisi moral dengan rezim Damaskus namun unifikasi dilakukan antara Golongan netralis (sunnah) dengan golongan jamaah (pendukung Muawiyyah) yang kemudian melahirkan golongan Sunnah dan Jamaah ( Ahl al Sunnah wa al Jamaah ). Sementara golongan yang setia kepada Ali tetap berjuang untuk merebut kekhalifahan,terlebih pada saat Husein putera Ali yang lahir dari puteri Nabi Muhammad Fatimah hendak mencoba menuntut kekhalifahan atas kematian ayahnya dan bahkan mengadakan perlawanan terhadap Yazid anak Muawiyyah, orang yang menjadi lawan Ali dan mendirikan kekhalifahan umayyah yang ber ibukota di Damaskus. Suatu hari, Husein diundang untuk datang ke Irak oleh warga kota Kuffah ( 680 M ) yang berjanji untuk mendukungnya, tapi dalam perjalanan dari Madainah menuju Irak sebelum sampai ke kuffah, Husein dan keluarganya dihadang oleh tentara Yazid di Karbala dan mengakibatkan pembunuhan besar-besaran terhadap Husein dan keluarga kecuali Zain al Abidin yang sedang sakit. Tubuh Husein kemudian dikuburkan di Karbala dan kepalanya di bawa ke Damaskus ke tempat Yazid. Dibalik tragedi tersebut justru menjadi cambuk bagi pertumbuhan kaum Syiah.
 Propaganda dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan kaum Syiah dipacu oleh kepercayaan mereka terhadap wasiat Nabi yang menunjuk Ali sebagai Imam pertama di sebuah tempat yang terdapat genangan air yang dinamakan Ghadir Khumm, yaitu ketika Nabi kembali ke Madinah pulang dari perjalanan haji. Wasiat tersebut dapat dipandang penting, karena dapat memunculkan dan bahkan menjadi pangkal utama perselisihan antara kaum Syiah dan Sunni.
Bagi kaum Syiah,wasiat tersebut adalah absah, sehingga menolak kekhalifahan Ustman, Umar dan bahkan Abu Bakar. Mereka disebut kaum Rafidlah (mereka yang menolak).Sementara bagi kaum Ahl al Sunnah Wa al Jamaah, wasiat ghadir Khum adalah palsu yang dibuat-buat oleh kaum Rafidlah. Kekhalifahan yang sah bagi kaum syiah adalah Ali, kaum Khawarij hanya Abu Bakar dan Umar sedangkan kaum umayyah adalah Abu Bakar, Umar dan Ustman.
Penetrasi atas pengakuan yang demikian itu adalah tampilnya khalifah umar bin Abdul Aziz dari kalangan Umayyah yang diketahui sebagai penguasa pertama yang memerintahkan pembukuan Hadist dan cukup bijaksana mengurangi sumber-sumber fitnah di kalangan ummat. Umar bin Abdul Aziz melakukan gerakan untuk merehabilitasi nama Ali dan mengakuinya sebagai khalifah yang sah serta mendudukkan Ali sederetan dengan pendahulunya, sehingga khalifah klasik yang berpetunjuk dan bijaksana ( al Khulafa al rasyidun ) itu adalah Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali.
Terlepas dari otentik atau tidaknya wasiat Ghadir Khum itu, secara empiris golongan Syiah saat ini menduduki golongan terbesar kedua dalam dunia Islam yang menyebar di Negara Lebanon, Iran, Irak, Azerbaijan sebagai penduduk mayoritas dan sementara di India, Pakistan, Afganistan, Suriah, Arab Saudi, Negara-negara teluk Persia dan Afrika Timur menjadi minoritas.
Revolusi Abbasyiah yang menghabisi kaum Umayyah berhasil gemilang karena dukungan kaum syiah, meski akhirnya kaum Abbasyiah lebih memperhatikan kepada kaum Sunni, namun kehadiran kaum Syiah sangat terasa dan berperan dalam dinasti Abbasyiah, begitun juga kemenangan revolusi mereka di Iran yang merupakan titik balik perkembangan Islam di dunia dan menghapus keseluruhan sejarah mereka tentang kegagalan demi kegagalan.
 Dalam wawasan Teologi / Kalam, karena kedekatannya dengan kaum Khawarij yang menjelma dalam system Kalam kaum Mu’tazilah, kaum Syiah adalah lebih dibanding dengan kaum Sunni dalam hal mewarisi dan mengembangkan tradisi intelektual, bahkan pada abad ke tujuh belas masih mampu melahirkan seorang pemikir besar, Mulia Sadra, yang bisa dibandingkan dengan para pemikir sezamannya di Barat. Selain dari pada itu kaum Syiah pernah berkuasa secara gemilang pada dua Dinasti yaitu Dinasti Fatimiyah di Mesir yang mendirikan kota Kairo, Masjid dan Universitas Al Azhar.
Kedua pada saat Dinasti Shafawiyah di Iran yang merubah masyarakat dari pengikut Sunni menjadi Syi’i. Lebih penting dari semua yang tersebut diatas, mendiskusikan Syiah akan lebih menukik manakala dijelaskan aliran-aliran dan pemikiran dalam Syiah Pemikiran Syiah : Kaum Syiah mempunyai 5 (lima ) prinsip utama dalam pemikirannya yaitu : Al Tauhid (ke Esaan Tuhan), Al ‘adl (keadilan), Nubuwwah (Kenabian), Imamah (Kepemimpinan) dan Ma’ad (Kiamat).
a. Al Tauhid :
Kaum Syiah, khususnya aliran Istna Asyariyyah yang dipelopori Hisyam bin al Hakam memandang bahwa eksistensi Allah dapat dijelaskan melalui keberadaan manusia beserta sifat yang ada dalam diri manusia itu, pandangan ini dikenal dengan paham al Tajsim dan Tasybih ( meng antromorfis kan Allah ), namun pada generasi berikutnya paham tersebut ditinggalkan dan menganut paham al Tanzih wa al Tajrid yaitu me Maha suci-kan dan me Maha abstrakkan Allah, paham dari generasi ini dipelopori al Syeikh al Mufid. Paham yang pertama yaitu al Tajsim wa Tasybih digunakan kaum Syiah untuk menentang kaum Mu’tazilah yang menentang dan menolak teori imamah versi Syiah, namun akhirnya atas prakarsa Bani Buwaihi, kedua kaum ini dipersatukan dengan menganut paham kedua yaitu al Tanzih dan al Tajrid.
Adapun teolog Syiah dari aliran ini selain al Syeikh al Mufid adalah Nashir al Din al Tusi, al Syeikh al Amali yang mana keduanya dikenal sebagai pengulang pemikiran Mu’tazilah yakni dengan pendapatnya bahwa sifat (Allah) adalah ‘ain al Zat (Zat Allah itu sendiri) dan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Sebaliknya mereka menolak teori al Kalam al Nafsi (sifat berbicara yang merupakan bagian dari Zat).
Berbeda dengan aliran Istna Asyariyyah, aliran Ismailiyyah, filsafat ketuhanannya berlandaskan pada prinsip bahwa akal manusia tidak mampu mempersepsi zat ilahi, zat ini mempunyai sifat-sifat dan sifat-sifat itu hanya dituangkan pada akal pertama yang diciptakan Allah. Artinya kita hanya mengetahui al aql al-mubtada’ (akal yang dicipta) tetapi tidak bisa mengetahui al Bari al Mubdi (pencipta yaitu Allah). Dalam teori emanasi (al Faid wa al Sudur), kaum ini menjelaskan bahwa bermula dari akal beremanasi al Nafs al kulliyyah (jiwa universal), dari jiwa itu beremanasilah materi ini. Dari persatuan akal, jiwa materi, waktu dan ruang beremanasilah gerakan segala falak dan alam. Begitu pun dengan wahyu, bahwa ia tidak terputus karena wahyu merupakan pancaran dari al Natiq kepada al Was-yu dan para imam.
Mengenai masalah yang berhubungan dengan ketuhanan, kaum Zaidiyah pada awalnya lebih dekat kepada kaum salaf, walaupun imam mereka berguru pada washil bin Atha’. Mereka berpandangan bahwa Allah SWT adalah sesuatu yang tidak seperti sesuatu yang lain, tidak serupa dengan segala sesuatu yang ada. Ia Maha mengetahui, Maha kuasa, karena sifat Maha mengetahui dan Maha Kuasa bukanlah ia juga bukan selain ia.
b. Al Adl
Al Adl maksudnya adalah bahwa Allah tidak berbuat dzalim kepada seseorang dan tidak melakukan sesuatu yang buruk menurut akal sehat. Akal yang mengatakan bahwa buruk bagi Allah itu mustahil maka kaum Syiah menetapkan sifat Al adl hanya pantas dipunyai atau bagi Allah sedangkan Syara’ hanya memperkuat dan memberi tanda-tandanya saja, bahkan akal tanpa bantuan syara’ tidak dapat menentukan baik buruk.
c. Nubuwwah
Kaum Syiah meyakini bahwa semua Nabi yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah utusan Allah dan hamba-hambaNya yang mulia. Mereka ditugaskan untuk mengajak manusia kepada yang Al Haq atau Allah. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir dan pemimpin para rasul. Hal terpenting dalam keyakinan mereka tentang kenabian adalah permasalahan ‘Ishamah (ma’shum). Mereka meyakini tentang kesempurnaan sifat-sifat Nabi. Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi adalah mukjizat, begitupun juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kenabian dan al Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad dan kitab suci umat Islam.
d. Imamah
Mengenai masalah ini, kaum Syiah berpandangan bahwa imamah bukanlah masalah kemaslahatan umum, melainkan merupakan suatu rukun agama dan pokok agama Islam yang tidak boleh dilalaikan oleh Nabi atau diserahkan oleh rakyat, artinya rakyat tidak mempunyai hak untuk memberikan pertimbangan dan menunjuk seorang imam melainkan hanya Nabi yang berkewajiban menunjuk imam yang akan memimpin rakyat sepeninggal beliau. Dan setiap imam wajib pula menunjuk imam yang akan menggantikannya. Kaum Syiah berpandangan bahwa dalam agama Islam tidak ada sesuatu yang lebih penting dari pada masalah penunjukan imam, apabila imam tersebut telah menunjuk penggantinya maka ia akan dapat meninggal dunia dengan perasaan lega dan tidak merasa kuatir atas kepentingan rakyat.
Oleh karena Nabi mempunyai kewajiban untuk menunjuk imam yang akan mengurus kepentingan kaum muslimin sesudah beliau wafat, maka beliau telah melaksanakan kewajiban itu yaitu telah menunjuk Ali, dan penunjukannya dilakukan dengan nash yang jelas bukan secara sindiran. Peristiwa ini terjadi di suatu tempat yang disebut ghadir kham. Sabda Nabi yang dimaksud berbunyi : “ Ali adalah teman bagi orang yang saya menjadi temannya. Ya Allah tolonglah siapa yang menolongnya, dan musuhilah siapa yang memusuhi, menangkanlah siapa yang memenangkannya, dan kalahkanlah siapa yang mngalahkannya. Jadikanlah kebenaran itu besertanya selama-lamanya semoga aku telah menyampaikan apa yang wajib kusampaikan” Dan penunjukan itu terjadi setelah turunnya firman Allah Yang Artinya:
"Hai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepada mu dari Tuhanmu, dan jika engkau belum melakukannya berarti engkau tidak menyampaikan pesanNya, dan Allah akan melindungimu dari kejahatan manusia”(Q.S.Al Maidah 67).

Yang disuruh menyampaikannya dalam ayat itu, menurut tafsiran kaum Syiah adalah penunjukan Ali sebagai imam. Oleh sebab itu setelah penunjukan itu selesai turunlah firman Allah :
"Pada hari ini telah Ku sempurnakan agamamu dan telah Ku lengkapkan nikmat Ku untukmu, dan aku telah rela agama Islam menjadi agamamu” (Q.S Al Maidah 3)

Bahwa imamah itu adalah khusus untuk Ali dan anak cucunya dari isterinya yaitu Fatimah. Mereka adalah ahlulbait, dan pohon rindang yang beroleh berkah, yang karenanya Allah senang kepada seluruh manusia. Orang selain mereka tidak berhak untuk menduduki jabatan imamah itu sampai Allah mewarisi bumi ini dan semua orang yang berada diatasnya. Dan selain itu, mereka itu adalah ma’shum yakni terhindar dari perbuatan dosa dan tidak pernah salah ataupun lupa.
e. Ma’ad
Dalam pandangan kaum Syiah, Ma’ad yang dimaksud setara dengan doktrin Raj’ah yaitu keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhakauntuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT di muka bumi bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.Keyakinan itu didasarkan pada al Qur’an surat al Mukmin ayat 11: Yang Artinya:“ Mereka menjawab, Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali pula, lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adalah suatu jalan bagi kami untuk keluar “
Yang mana menurut mereka dalam ayat tersebut tercantum makna ar raj’ah yang berarti pulang atau kembali, artinya bahwa dalam hiudup ini terdapat kehidupan setelah mati sebelum menuju kepada kehidupan akhirat.
III. PENUTUP
Dasar-dasar pemikiran aliran syi’ah adalah:
1. Al Tauhid.
2. Al Adl.
3. Nubuwwah.
4. Imamah.
5. Ma’ad
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik (et al), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,jilid 3. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe, 2002.
Ghuraby, Ali Mustafa, Tarikh al-Firaq al-Islam. Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih, 1958.
Husaini HMH.Al Hamid, Baitun Nubuwwah. Jakarta :Pustaka Hidayah,1994.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah dalam A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Al Husna 1995.
Madkour, Ibrahim, Aliran Dan Teori Filsafat Islam,terj.Yudian Wahyudi Asmin Fi al Falsafah al Islamiyyah. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Musawi, Ayatullah Sayyid Muhammad, Madzab Syiah. Bandung: Mutahhari Pers, 2005.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Perss, tth.
Syiraji, Nasyir Makarim, Inilah Aqidah Syiah. Jakarta: Al Huda, 1423 H.


  




PEMIKIRAN THEOLOGI / ILMU KALAM
SYI’AH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Sejarah Pemikiran Islam

Dosen
Prof. Afif Muhammad, MA
Dr. Rodliyah Khuza’i M.Ag




Disusun Oleh
Imas Rohaeni
NIM. 20010008005







PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG ( UNISBA )
KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersabarlah Selalu ada ujian yang akan menghantarkan kita menuju keberhasilan. apapun itu bentuknya sudah sebaiknya kita menerima dengan leg...