I. PENDAHULUAN
Sejak
kelahirannya, Islam tampil dalam sejarah sebagai disiplin agama sekaligus
gerakan sosio-politik. Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, beliau meninggalkan
warisan agama dan juga politik. Bagi sebagian umat ketika itu, suksesi Nabi SAW
mengandung pengertian keagamaan dan spiritual yang sangat penting.
Selanjutnya
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, tercatat munculnya beberapa
golongan yang bercorak rasional, yakni memberi peran besar dan keistimewaan
bagi akal. Khsususnya tentang kemunculan aliran salahsatunya Syi’ah.Golongan
ini dipercaya menjadi salah satu pemicu kemajuan peradaban ummat Islam hingga
mencapai puncak kejayaannya.
II. PEMBAHASAN
Syiah berasal
dari kata Arab Syi’ah yang secara etimologis berarti pengikut, kelompok,
golongan dan pendukung. Sedangkan secara terminologis, Syiah berarti orang atau
kelompok yang mengangkat kepemimpinan Ali dan Keluarganya. Mereka itu antara
lain adalah : Jabir ibnu Abdillah, Huzaifah ibnul Yaman, Abu Dzar al Ghiffari
dan lainnya.
Dukungan
kepada Ali yang berlebihan untuk menjadi khalifah tidak hanya terjadi saat
setelah meninggalnya Nabi Muhammad yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara
golongan Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah dimana
suara Bani Hasyim dan sekelompok kecil Muhajirin menuntut kekhalifahan bagi
Ali, tetapi lebih memuncak pada saat kepemimpinan Utsman yang tidak adil dan
hanya mementingkan kaum Umayyah sehingga mengakibatkan terbunuhnya Ustman bin
Affan dan pengangkatan Ali sebagai khalifah ke empat.
Saat setelah pengangkatan sebagai khalifah,
Ali mendapat tantangan dari pemuka-pemuka masyarakat yang ingin menjadi
khalifah,terutama adalah Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat dukungan
dari isteri Nabi Muhammad yaitu Aisyah. Dalam peperangan yang dikenal dengan
nama Harbul Jamal, Thalhah dan Zubair terbunuh sedangkan Aisyah dikirim kembali
ke Mekkah.
Tantangan
kedua datang dari Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Damaskus sekaligus anggota
terdekat dari Utsman bin Affan. Kontraversi ini mengharuskan perang dengan
Muawiyyah tak terhindarkan, Ali hampir menang secara militer, namun dengan
cepat Muawiyyah mohon penyelesaian secara diplomatik dan akhirnya mereka
memenangkan diplomasi.
Setelah
kekalahan diplomatik dengan Muawiyyah, soliditas kubu Ali terpecah menjadi dua
yaitu golongan yang tetap setia kepada Ali dan golongan pemberontak yang kelak
lebih dikenal dengan golongan Khawarij.Golongan yang kedua ini ingin
mengembalikan masalah kekhaifahan kepada rakyat banyak melalui pemilihan, tapi terhalang
oleh Ali dan Muawiyyah, sehingga ia merencanakan untuk membunuh keduanya namun
hanya Ali yang terbunuh sedangkan Muawiyyah malah berhasil mengkonsolidasikan
diri dengan ummat Islam, hal ini berkat kecakapan politik dan ketegaran
kepemimpinannya.
Karena trauma
dengan pertumpahan darah, kaum Muslimin secara pragmatis mendukung kekuasaan
Muawiyyah sehingga saat itu yaitu tahun ke 4 hijriah secara khusus disebut
tahun persatuan. Dalam bidang keagamaan, sikap traumatis menimbulkan netralitas
warga Madinah yang dipelopori Abdullah bin Umar dalam mendalami agama
berdasarkan Al Qur’an dengan memperhatikan serta mempertahankan tradisi warga
Madinah, yang dipandang sebagai kelanjutan tradisi yang tumbuh pada zaman Nabi
dan merupakan cerminan Sunnah Nabi itu sendiri.
Kaum netralis ini selalu dipercaya oleh
penguasa umayyah, meski sering melakukan oposisi moral dengan rezim Damaskus
namun unifikasi dilakukan antara Golongan netralis (sunnah) dengan golongan
jamaah (pendukung Muawiyyah) yang kemudian melahirkan golongan Sunnah dan
Jamaah ( Ahl al Sunnah wa al Jamaah ). Sementara golongan yang setia kepada Ali
tetap berjuang untuk merebut kekhalifahan,terlebih pada saat Husein putera Ali
yang lahir dari puteri Nabi Muhammad Fatimah hendak mencoba menuntut kekhalifahan
atas kematian ayahnya dan bahkan mengadakan perlawanan terhadap Yazid anak
Muawiyyah, orang yang menjadi lawan Ali dan mendirikan kekhalifahan umayyah
yang ber ibukota di Damaskus. Suatu hari, Husein diundang untuk datang ke Irak
oleh warga kota Kuffah ( 680 M ) yang berjanji untuk mendukungnya, tapi dalam
perjalanan dari Madainah menuju Irak sebelum sampai ke kuffah, Husein dan
keluarganya dihadang oleh tentara Yazid di Karbala dan mengakibatkan pembunuhan
besar-besaran terhadap Husein dan keluarga kecuali Zain al Abidin yang sedang
sakit. Tubuh Husein kemudian dikuburkan di Karbala dan kepalanya di bawa ke Damaskus ke
tempat Yazid. Dibalik tragedi tersebut justru menjadi cambuk bagi pertumbuhan
kaum Syiah.
Propaganda dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan
kaum Syiah dipacu oleh kepercayaan mereka terhadap wasiat Nabi yang menunjuk
Ali sebagai Imam pertama di sebuah tempat yang terdapat genangan air yang
dinamakan Ghadir Khumm, yaitu ketika Nabi kembali ke Madinah pulang dari
perjalanan haji. Wasiat tersebut dapat dipandang penting, karena dapat
memunculkan dan bahkan menjadi pangkal utama perselisihan antara kaum Syiah dan
Sunni.
Bagi kaum
Syiah,wasiat tersebut adalah absah, sehingga menolak kekhalifahan Ustman, Umar
dan bahkan Abu Bakar. Mereka disebut kaum Rafidlah (mereka yang
menolak).Sementara bagi kaum Ahl al Sunnah Wa al Jamaah, wasiat ghadir Khum
adalah palsu yang dibuat-buat oleh kaum Rafidlah. Kekhalifahan yang sah bagi
kaum syiah adalah Ali, kaum Khawarij hanya Abu Bakar dan Umar sedangkan kaum
umayyah adalah Abu Bakar, Umar dan Ustman.
Penetrasi
atas pengakuan yang demikian itu adalah tampilnya khalifah umar bin Abdul Aziz
dari kalangan Umayyah yang diketahui sebagai penguasa pertama yang
memerintahkan pembukuan Hadist dan cukup bijaksana mengurangi sumber-sumber
fitnah di kalangan ummat. Umar bin Abdul Aziz melakukan gerakan untuk
merehabilitasi nama Ali dan mengakuinya sebagai khalifah yang sah serta
mendudukkan Ali sederetan dengan pendahulunya, sehingga khalifah klasik yang
berpetunjuk dan bijaksana ( al Khulafa al rasyidun ) itu adalah Abu Bakar,
Umar, Ustman dan Ali.
Terlepas dari
otentik atau tidaknya wasiat Ghadir Khum itu, secara empiris golongan Syiah
saat ini menduduki golongan terbesar kedua dalam dunia Islam yang menyebar di Negara
Lebanon, Iran, Irak, Azerbaijan sebagai penduduk mayoritas dan sementara di
India, Pakistan, Afganistan, Suriah, Arab Saudi, Negara-negara teluk Persia dan
Afrika Timur menjadi minoritas.
Revolusi
Abbasyiah yang menghabisi kaum Umayyah berhasil gemilang karena dukungan kaum
syiah, meski akhirnya kaum Abbasyiah lebih memperhatikan kepada kaum Sunni,
namun kehadiran kaum Syiah sangat terasa dan berperan dalam dinasti Abbasyiah,
begitun juga kemenangan revolusi mereka di Iran yang merupakan titik balik perkembangan
Islam di dunia dan menghapus keseluruhan sejarah mereka tentang kegagalan demi
kegagalan.
Dalam wawasan Teologi / Kalam, karena
kedekatannya dengan kaum Khawarij yang menjelma dalam system Kalam kaum
Mu’tazilah, kaum Syiah adalah lebih dibanding dengan kaum Sunni dalam hal
mewarisi dan mengembangkan tradisi intelektual, bahkan pada abad ke tujuh belas
masih mampu melahirkan seorang pemikir besar, Mulia Sadra, yang bisa
dibandingkan dengan para pemikir sezamannya di Barat. Selain dari pada itu kaum
Syiah pernah berkuasa secara gemilang pada dua Dinasti yaitu Dinasti Fatimiyah
di Mesir yang mendirikan kota
Kairo, Masjid dan Universitas Al Azhar.
Kedua pada
saat Dinasti Shafawiyah di Iran yang merubah masyarakat dari pengikut Sunni
menjadi Syi’i. Lebih penting dari semua yang tersebut diatas, mendiskusikan
Syiah akan lebih menukik manakala dijelaskan aliran-aliran dan pemikiran dalam
Syiah Pemikiran Syiah : Kaum Syiah mempunyai 5 (lima ) prinsip utama dalam pemikirannya yaitu
: Al Tauhid (ke Esaan Tuhan), Al ‘adl (keadilan), Nubuwwah (Kenabian), Imamah
(Kepemimpinan) dan Ma’ad (Kiamat).
a. Al Tauhid :
Kaum Syiah,
khususnya aliran Istna Asyariyyah yang dipelopori Hisyam bin al Hakam memandang
bahwa eksistensi Allah dapat dijelaskan melalui keberadaan manusia beserta
sifat yang ada dalam diri manusia itu, pandangan ini dikenal dengan paham al
Tajsim dan Tasybih ( meng antromorfis kan Allah ), namun pada generasi
berikutnya paham tersebut ditinggalkan dan menganut paham al Tanzih wa al
Tajrid yaitu me Maha suci-kan dan me Maha abstrakkan Allah, paham dari generasi
ini dipelopori al Syeikh al Mufid. Paham yang pertama yaitu al Tajsim wa
Tasybih digunakan kaum Syiah untuk menentang kaum Mu’tazilah yang menentang dan
menolak teori imamah versi Syiah, namun akhirnya atas prakarsa Bani Buwaihi,
kedua kaum ini dipersatukan dengan menganut paham kedua yaitu al Tanzih dan al
Tajrid.
Adapun teolog
Syiah dari aliran ini selain al Syeikh al Mufid adalah Nashir al Din al Tusi,
al Syeikh al Amali yang mana keduanya dikenal sebagai pengulang pemikiran
Mu’tazilah yakni dengan pendapatnya bahwa sifat (Allah) adalah ‘ain al Zat (Zat
Allah itu sendiri) dan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Sebaliknya mereka menolak
teori al Kalam al Nafsi (sifat berbicara yang merupakan bagian dari Zat).
Berbeda dengan aliran Istna
Asyariyyah, aliran Ismailiyyah, filsafat ketuhanannya berlandaskan pada prinsip
bahwa akal manusia tidak mampu mempersepsi zat ilahi, zat ini mempunyai
sifat-sifat dan sifat-sifat itu hanya dituangkan pada akal pertama yang
diciptakan Allah. Artinya kita hanya mengetahui al aql al-mubtada’ (akal yang
dicipta) tetapi tidak bisa mengetahui al Bari al Mubdi (pencipta yaitu Allah).
Dalam teori emanasi (al Faid wa al Sudur), kaum ini menjelaskan bahwa bermula
dari akal beremanasi al Nafs al kulliyyah (jiwa universal), dari jiwa itu
beremanasilah materi ini. Dari persatuan akal, jiwa materi, waktu dan ruang
beremanasilah gerakan segala falak dan alam. Begitu pun dengan wahyu, bahwa ia
tidak terputus karena wahyu merupakan pancaran dari al Natiq kepada al Was-yu
dan para imam.
Mengenai masalah yang
berhubungan dengan ketuhanan, kaum Zaidiyah pada awalnya lebih dekat kepada
kaum salaf, walaupun imam mereka berguru pada washil bin Atha’. Mereka
berpandangan bahwa Allah SWT adalah sesuatu yang tidak seperti sesuatu yang
lain, tidak serupa dengan segala sesuatu yang ada. Ia Maha mengetahui, Maha
kuasa, karena sifat Maha mengetahui dan Maha Kuasa bukanlah ia juga bukan
selain ia.
b. Al Adl
Al Adl
maksudnya adalah bahwa Allah tidak berbuat dzalim kepada seseorang dan tidak
melakukan sesuatu yang buruk menurut akal sehat. Akal yang mengatakan bahwa
buruk bagi Allah itu mustahil maka kaum Syiah menetapkan sifat Al adl hanya
pantas dipunyai atau bagi Allah sedangkan Syara’ hanya memperkuat dan memberi
tanda-tandanya saja, bahkan akal tanpa bantuan syara’ tidak dapat menentukan
baik buruk.
c. Nubuwwah
Kaum Syiah
meyakini bahwa semua Nabi yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah utusan Allah
dan hamba-hambaNya yang mulia. Mereka ditugaskan untuk mengajak manusia kepada
yang Al Haq atau Allah. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir dan pemimpin
para rasul. Hal terpenting dalam keyakinan mereka tentang kenabian adalah
permasalahan ‘Ishamah (ma’shum). Mereka meyakini tentang kesempurnaan sifat-sifat
Nabi. Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi adalah mukjizat, begitupun
juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kenabian dan al Qur’an adalah
mukjizat Nabi Muhammad dan kitab suci umat Islam.
d. Imamah
Mengenai
masalah ini, kaum Syiah berpandangan bahwa imamah bukanlah masalah kemaslahatan
umum, melainkan merupakan suatu rukun agama dan pokok agama Islam yang tidak
boleh dilalaikan oleh Nabi atau diserahkan oleh rakyat, artinya rakyat tidak
mempunyai hak untuk memberikan pertimbangan dan menunjuk seorang imam melainkan
hanya Nabi yang berkewajiban menunjuk imam yang akan memimpin rakyat
sepeninggal beliau. Dan setiap imam wajib pula menunjuk imam yang akan
menggantikannya. Kaum Syiah berpandangan bahwa dalam agama Islam tidak ada
sesuatu yang lebih penting dari pada masalah penunjukan imam, apabila imam
tersebut telah menunjuk penggantinya maka ia akan dapat meninggal dunia dengan
perasaan lega dan tidak merasa kuatir atas kepentingan rakyat.
Oleh karena
Nabi mempunyai kewajiban untuk menunjuk imam yang akan mengurus kepentingan
kaum muslimin sesudah beliau wafat, maka beliau telah melaksanakan kewajiban
itu yaitu telah menunjuk Ali, dan penunjukannya dilakukan dengan nash yang
jelas bukan secara sindiran. Peristiwa ini terjadi di suatu tempat yang disebut
ghadir kham. Sabda Nabi yang dimaksud berbunyi : “ Ali adalah teman bagi orang
yang saya menjadi temannya. Ya Allah tolonglah siapa yang menolongnya, dan
musuhilah siapa yang memusuhi, menangkanlah siapa yang memenangkannya, dan
kalahkanlah siapa yang mngalahkannya. Jadikanlah kebenaran itu besertanya
selama-lamanya semoga aku telah menyampaikan apa yang wajib kusampaikan” Dan
penunjukan itu terjadi setelah turunnya firman Allah Yang Artinya:
"Hai Rasul
sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepada mu dari Tuhanmu, dan jika engkau
belum melakukannya berarti engkau tidak menyampaikan pesanNya, dan Allah akan
melindungimu dari kejahatan manusia”(Q.S.Al Maidah 67).
Yang disuruh
menyampaikannya dalam ayat itu, menurut tafsiran kaum Syiah adalah penunjukan
Ali sebagai imam. Oleh sebab itu setelah penunjukan itu selesai turunlah firman
Allah :
"Pada hari ini telah
Ku sempurnakan agamamu dan telah Ku lengkapkan nikmat Ku untukmu, dan aku telah
rela agama Islam menjadi agamamu” (Q.S Al Maidah 3)
Bahwa imamah itu adalah khusus
untuk Ali dan anak cucunya dari isterinya yaitu Fatimah. Mereka adalah
ahlulbait, dan pohon rindang yang beroleh berkah, yang karenanya Allah senang
kepada seluruh manusia. Orang selain mereka tidak berhak untuk menduduki jabatan
imamah itu sampai Allah mewarisi bumi ini dan semua orang yang berada
diatasnya. Dan selain itu, mereka itu adalah ma’shum yakni terhindar dari
perbuatan dosa dan tidak pernah salah ataupun lupa.
e. Ma’ad
Dalam
pandangan kaum Syiah, Ma’ad yang dimaksud setara dengan doktrin Raj’ah yaitu
keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah yang paling saleh dan
sejumlah hamba Allah yang paling durhakauntuk membuktikan kebesaran dan
kekuasaan Allah SWT di muka bumi bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.Keyakinan
itu didasarkan pada al Qur’an surat al Mukmin ayat 11: Yang Artinya:“ Mereka
menjawab, Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah
menghidupkan kami dua kali pula, lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adalah
suatu jalan bagi kami untuk keluar “
Yang mana menurut mereka dalam
ayat tersebut tercantum makna ar raj’ah yang berarti pulang atau kembali,
artinya bahwa dalam hiudup ini terdapat kehidupan setelah mati sebelum menuju
kepada kehidupan akhirat.
III. PENUTUP
Dasar-dasar pemikiran aliran syi’ah adalah:
1. Al Tauhid.
2. Al Adl.
3. Nubuwwah.
4. Imamah.
5. Ma’ad
1. Al Tauhid.
2. Al Adl.
3. Nubuwwah.
4. Imamah.
5. Ma’ad
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik (et al), Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam,jilid 3. Jakarta :
Ikhtiar Baru Van Hoepe, 2002.
Ghuraby, Ali Mustafa, Tarikh al-Firaq al-Islam. Mesir: Maktabah wa Mathba’ah
Muhammad Ali Shabih, 1958.Husaini HMH.Al Hamid, Baitun Nubuwwah.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah dalam A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Madkour, Ibrahim, Aliran Dan Teori Filsafat Islam,terj.Yudian Wahyudi Asmin Fi al Falsafah al Islamiyyah.
Musawi, Ayatullah Sayyid Muhammad, Madzab Syiah.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran Analisa Perbandingan.
Syiraji, Nasyir Makarim, Inilah Aqidah Syiah.
PEMIKIRAN THEOLOGI / ILMU KALAM
SYI’AH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Sejarah Pemikiran Islam
Dosen
Prof. Afif
Muhammad , MA
Dr. Rodliyah Khuza’i M.Ag
Disusun Oleh
Imas Rohaeni
NIM. 20010008005
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG ( UNISBA )
KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN
ISLAM
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar